Wewenang, Delegasi dan Desentralisasi
Pengertian Wewenang
Wewenang (authority) adalah hak
untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.Penggunaan wewenang secara
bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. peranan pokok
wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda
formal, dimana manajer menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun
organisasi.Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar
kekuasaan dan pengaruh informal. Manajer perlu menggunakan lebih dari wewenang
resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga
tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka.
Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan merupakan kemampuan
mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan.
Studi tentang kekuasaan dan dampaknya merupakan hal yang penting dalam
manajemen. Karena kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, maka
mungkin sekali setiap interaksi dan hubungan sosial dalam suatu organisasi
melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara pengendalian unit organisasi dan individu
di dalamnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan manager yang
menginginkan peningkatan jumlah penjualan adalah kemampuan untuk meningkatkan
penjualan itu. Kekuasaan melibatkan hubungan antara dua orang atau lebih.
Dikatakan A mempunyai kekuasaan atas B, jika A dapat menyebabkan B melakukan
sesuatu di mana B tidak ada pilihan kecuali melakukannya. Kekuasaan selalu
melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan
demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki
kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk
dilaksanakan oleh orang lain atau kelompok lain.
Kekuasaan amat erat hubungannya
dengan wewenang. Tetapi kedua konsep ini harus dibedakan. Kekuasaan melibatkan
kekuatan dan paksaan, wewenang merupakan bagian dari kekuasaan yang cakupannya
lebih sempit. Wewenang tidak menimbulkan implikasi kekuatan. Wewenang adalah
kekuasaan formal yang dimiliki oleh seseorang karena posisi yang dipegang dalam
organisasi. Jadi seorang bawahan harus mematuhi perintah manajernya karena posisi
manajer tersebut telah memberikan wewenang untuk memerintah secara sah.
Secara
umum ada dua bentuk kekuasaan:
1.
Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut dan
didasarkan
pada
seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada pemimpin.
2.
Kedua kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi.
Kekuasaan berkaitan erat dengan
pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan
perubahan sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok.
Kekuasaan berkaitan erat dengan
pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan
perubahan sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok.
Struktur Lini dan Staf
1. Lini/garis
(line organization)
Suatu bentuk organisasi dimana
kepala eksekutif (chief executive) dipandang sebagai sumber wewenang tunggal,
segala keputusan/kebijakan dan tanggung jawab ada pada satu tangan.
Sifat/ciri-ciri :
1. Organisasi
kecil,
2. Jumlah
pegawai sedikit,
3. Pemilik
biasanya menjadi pemimpin tertinggi dalam organisasi,
4. Hubungan
kerja bersifat langsung (face to face relationship),
5. Spesialisasi
yang dibutuhkan rendah,
6. Anggota
organisasi saling kenal mengenal,
7. Tujuan
sederhana,
8. Alat-alat
sederhana,
9. Struktur
organisasi sederhana,
10. Produksi yang dihasilkan
belum beraneka ragam,
11. Pimpinan organisasi
seorang tunggal,
12. Garis komando ke bawah
kuat,
2. Organisasi
staf (staff organisazition)
Adalah suatu organisasi yang
mempunyai hubungan dengan pucuk pimpinan dan mempunyai fungsi memberikan
bantuan, baik berupa pemikiran maupun bantuan yang lain demi kelancaran tugas
pimpinan dalam mencapai tujuan secara keseluruhan (tidak mempunyai garis komando
ke bawah/ke daerah-daerah). Staf yaitu orang yang ahli dalam bidang tertentu
yany tugasnya memberi nasehat dan saran dalam bidang kepada pemimpin dalam
organisasi.
Sifat/Ciri-ciri :
a.
Organisasi besar dan kompleks
b. Jumlah
karyawannya banyak
c.
Hubungan kerja yang bersifat langsung tidak mungkin lagi bagi seluruh anggota
organisasi
d. Terdapat
dua kelompok besar manusia di dalam organisasi: 1) Line Personal; 2) staff
personal yang melaksanakan fungsi-fungsi staf (staff function)
e.
Spesialisasi yang beranekaragam diperlukan dan dipergunakan secara
maksimal
3. Organisasi fungsional (fuctional organization)
maksimal
3. Organisasi fungsional (fuctional organization)
Organisasi Fungsional adalah
organisasi yang susunannya berdasarkan atas fungsi-fungsi yang ada dalam
organisasi tersebut, misalnya fungsi produksi, keuangan, administrasi dn
lain-lain. Dalam organisasi ini seorang tenaga pengajar tidak hanya bertanggung
jawab kepada satu atasa saja. Pada organisasi ini pemimpin berhak memerintahkan
semua para tenaga pengajar/para karyawannya, selama masih dalam hubungan
pekerjaan.
Sifat/ciri-ciri :
1. Organisasi
kecil
2. Di
dalamnya terdapat kelompok-kelompok kerja staff ahli
3. Spesialisasi
dalam pelaksanaan tugas
4. Target
yang hendak dicapai jelas dan pasti
5. Pengawasan
dilakukan secara ketat
6. Tidak
menjamin adanya kesatuan perintah
7. Hemat
waktu karena mengerjakan pekerjaan yang sama.
Wewenang lini, staf dan fungsional
1. Wewenang lini
Adalah wewenang dimana atasan
melakukannya atas bawahannya langsung.
Yaitu atasan langsung memberi wewenang kepada bawahannya, wujudnya dalam
wewenang perintah dan tercermin sebagai rantai perintah yang diturunkan ke
bawahan melalui tingkatan organisasi.
2. Wewenang staf
Adalah hak yang dipunyai oleh satuan-satuan
staf atau para spesialis untuk menyarankan, memberi rekomendasi, atau
konsultasi kepada personalia ini. Kualifikasi
yang harus dipenuhi oleh orang yang duduk sebagai taf yaitu dengan menganalisa
melalui metode kuisioner, metode observasi, metode wawancara atau dengan
menggabungkan ketiganya. Baishline mengajukan enam pokok kualifikasi yang harus
dipengaruhi oleh seorang staf yaitu :
a.
Pengetahuan yang luas tempat diamana dia bekerja
b. Punya
sifat kesetiaan tenaga yang besar, kesehatan yang baik, inisiatif, pertimbangan
yang baik dan kepandaian yang ramah.
c.
Punya semangat kerja sama yang ramah
d. Kestabilan
emosi dan tingkat laku yang sopan.
e.
Kesederhanaan
f.
Kemauan baik dan optimis
Kualifikasi utama yaitu memiliki
keahlian pada bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Konsekkuensi
organisasi yang menggunakan staf yaitu menambah biaya
administrasi struktur orgasisasi menjadi komplek dan kekuasaan, tanggung jawab serta akuntabilitas. yaitu memiliki keahlian pada bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Wewenang staf Yaitu hak para staf atau spesialis untuk menyarankan, memberi rekomendasi konsultasi pada personalia yang tinggi, Hal yang perlu diperintahkan dalam mendelegasikan suatu kegiatan kepada orang yang ditujuk yaitu:
administrasi struktur orgasisasi menjadi komplek dan kekuasaan, tanggung jawab serta akuntabilitas. yaitu memiliki keahlian pada bidangnya dan punya loyalitas yang tinggi. Wewenang staf Yaitu hak para staf atau spesialis untuk menyarankan, memberi rekomendasi konsultasi pada personalia yang tinggi, Hal yang perlu diperintahkan dalam mendelegasikan suatu kegiatan kepada orang yang ditujuk yaitu:
1. Menetapkan
dan memberikan tujuan serta kegiatan yang akan dilakukan
2. Melimpahkan
sebagian wewenangnya kepada orang yang di tunjuk
3. Orang
yang ditunjuk mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan
agar tercapainya tujuan.
4. Menerima
hasil pertanggung jawaban bawahan atas kegiatan yang dilimpahkan.
3. wewenang staf
fungsional
Adalah hubungan
terkuat yang dapat dimiliki staf dengan satuan-satuan lini.
Chester
Bamard mengatakan bahwa seseorang bersedia menerima komunikasi yang bersifat
kewenangan bila memenuhi:
1.
Memahami komunikasi tersebut
2.
Tidak menyimpang dari tujuan organisasi
3.
Tidak bertentangan dengan kepeningan pribadi
4.
Mampu secara mental dan fisik untuk mengikutinya
Pendelegasian wewenang
Pendelegasian wewenang merupakan
sesuatu yang vital dalam organisasi kantor. Atasan perlu melakukan
pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen dengan
baik. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin
besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan wewenang,
maka sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain dia
sendiri.Bila atasan menghadapi banyak pekerjaan yang tak dapat dilaksanakan
oleh satu orang, maka ia perlu melakukan delegasi. Pendelegasian juga dilakukan
agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga lebih memperkuat organisasi,
terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Yang penting disadari adalah di saat
kita mendelegasikan wewenang kita memberikan otoritas pada orang lain, namun
kita sebenarnya tidak kehilangan otoritas orisinilnya. Ini yang sering
dikhawatirkan oleh banyak orang. Mereka takut bila mereka melakukan delegasi,
mereka kehilangan wewenang, padahal tidak, karena tanggung jawab tetap berada
pada sang atasan. Berikut ada tips bagaimana mengusahakan agar para atasan mau
mendelegasikan wewenang.
Ciptakan budaya kerja yang membuat
orang bebas dari perasaan takut gagal/salah.
Keengganan seorang atasan/manajer
untuk mendelegasikan wewenang biasanya dikarenakan mereka takut kalau-kalau
tugas mereka gagal dikerjakan dengan baik oleh orang lain. Ini perlu diatasi
dengan mendorong mereka untuk berani menanggung resiko. Hanya dengan berani
menanggung resikolah perusahaan akan mendapatkan manajer-manajer yang handal
dan berpengalaman. Ciptakan budaya bahwa pendelegasian wewenang adalah upaya
agar manajer anda menjadi semakin matang. Pendelegasian wewenang bukan sebuah
hukuman yang mengurangi kekuasaan manajer, namun membuka kesempatan bagi
pengembangan diri mereka dan bawahan.Jadikan pendelegasian wewenang sebagai
bagian dari proses perbaikan.
Sentralisasi versus Desentralisasi
Berdasarkan pemikiran di atas, maka
kedepan Indonesia harus melakukan relokasi kekuasaan dari negara ke unit-unit
pemerintahan yang lebih kecil, karena itu sudah merupakan kehendak jaman. Model
sentralistis yang selama diprektekkan oleh pemerintah tidak dapat lagi
dipertahankan. Alasan-alasannya antara lain:
a. Kelemahan utama
konsep sentralistis adalah karena sangat kaku (rigit) sehingga sulit
berartikulasi secara optimal terhadap dinamika lingkungan. Konsep sentralisasi
sulit mengelola berbagai sumberdaya lokal yang sangat beragan dan bervariasi,
karena konsep ini tidak memiliki instrumen yang peka terhadap kemajemukan
(diversity). Pendekatan pemerintahan dilakukan dengana asumsi homogenitas
wilayah, sehingga akan menimbulkan kesenjangan dalam berbagai bidang atau aspek
(antar wilayah, antar lapisan dan natar golongan masyarakat).
b. Kebijaksanaan
sentralistis secara langsung maupun tidaklangsung telah membatasi kreativitas
sumberdaya pembangunn. Masalah yang dihadapi saat ini adalah bagaimana
menemukan dan merumuskan format yang tepat atau optimaldari relokasi kewenangan
tersebut. Pada satu sisi, sentralisasi mampu menawarkan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahanm. Tetapi pada sisi yang lain relokasi kewenangan
yang dijabarkan dalam bentukkewenangan politik dan administrasi di samping akan
menjawab berbgai kelemahan model sentralistik, juga memiliki kelemahan yang
intensitasnya sangat tergantung kepada kemampuan penegelolaan kemajemukan yang
ada. Konsep atau model yang keliru jelas tidak mampu menghasilkan sinergi dari
berbagai komponen wilayah dan bangsa, tetapi justru akan mendorong timbulnya
perpecahan atau disintegrasi bangsa.
c. Ketidakmampuan
merumuskan model relokasi kewenangan dimaksud mungkin merupakan jawaban mengapa
sejak diundangkannya UU No.5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah,
tidak pernah diikuti oleh penyusunan PP atau Peraturan Pememerintah yang
mengatur berbagai pasal dalam UU tersebut. Model dan Proses Desentralisasi.
Relokasi kewenangan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah (relokasi/desentralisasi kewenangan politik dan
kewenangan administrasi) merupakan wujud sistem manajemen pemerintahan yang
sangat kondusif terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas Kemandirian
Lokal.
Model otonomi yang diamanahkan dalam
UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang meletakkan otonomi pada Daerah
Tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya) merupakan alternatip sesungguhnya adalah
alternatip yang terbaik dibandingkan dengan berbagai model otonomi yang
lainnya, mengingat model ini lebih mendekatkan birokrasi pemerintahan dengan
masyarakatnya, dan yang disebut sebagai masyarakat lokal hanya ada di desa dan
kabupaten. Model otonomi pada Tingkat II akan memudahkan proses penyaluran
aspirasi masyarakat secara lebih luas dan cepat dan dengan demikian
pemberdayaan dengan jalan partisipasi dapat dengan mudah dilakukan yang pada
gilirannya proses demokratisasi sebagaimana hrapan reformasi dapat diwujudkan.
Namun persoalannya sekarang, masih banyak daerah, terutama para perangkat
pemerintahan belum sepenuhnya memahami konsep dasar otonomi tersebut. Mereka
lebih menekankannya pada sasaran penguasaan dan pemilikan aset dan sumberdaya,
sehingga dengan mudah menimbulkan pertentangan antar wilayah atau antardaerah.
Maka dalam kaitan ini otonomi daerah masih sangat membutuhkan peranan Tingkat I
sebagai kordinator, pengawas, dan pengarah kegiatan pelaksanaan otonomi
tersebut .Kelemahan sekaligus kekuatan UU No.22/99 terletak pada banyak
Peraturan Pemerintah yang perlu disusun dalam upaya implementasi amanah UU
tersebut. Kualitas semangat reformasi dari penyelenggara negara akan menentukan
apakah hal tersebut akan menjadi kekuatan atau kelemahan, karena penjabaran
dari berbagai pasal kedalam Peraturan Pemerintah akanmenentukan format
sebenarnya dari model otonomi tersebut.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Di samping itu kemampuan menemukan
cara pengelolaan sumberdaya lokal relatif sangat rendah, sehingga akan
menghambat pelaksanaan otonomi apabila tidak memiliki sumberdaya yang memadai.
Berdasarkan hasisl kesilapan daerah yang disebutkan di atas, dikhawatirkan timbulnya
usul pelaksanaan otonomi daerah menjadi tertunda. Perlu dikemukakan bahwa
terdapat kecurigaan di klangan masyarakat bahwa otonomi daerah sebagimana yang
tercantum dalam UU No. 22/1999 hanyalah merupakan upaya Pemerintah Nasional
untuk mengulur waktu, karena memang tidak sepenuhnya berniat untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah.Hal ini juga dipandang sebagai upaya untuk
mempertahankan status quo pola pemerintahan sentralistik yang menghambat
terciptanya iklim demokrasi serta upaya untuk menghambat transparansi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bilamana akumulasi masalah
tersebut tidak diantisipasi sedini mungkin dalam model Otonomi Daerah, maka
akan bermuara pada konflik politik yang berkempanjangan karena dianggap tidak
sejalan dengan reformasi.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk nmenyelenggarakan otonomi. Di samping itu, peross pembentukan daerah otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan, misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Sumber : http://tkampus.blogspot.com/2011/11/wewenang-delegasi-dan-desentralisasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar